Disusun oleh:
Kelompok 5
INDAH NUR HIDAYATI (NIM. 1711143031)
indah-sciencehome.blogspot.co.id
INDRIANI (NIM. 1711143033)
indrimerdeka.blogspot.com
M. NURHAFID MALIKUL MULKI (NIM.
1711143047)
nurhafid612.blogspot.com
VIVIN NAJIHAH (NIM. 1711143084)
evinn68.blogspot.com
ZAINI ROHMAH (NIM. 1711143090)
Zrohmah.blogspot.com
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Dagang & Bisnis
Per tanggal 09 Maret 2016
Pada
kesempatan kali ini, kami akan membahas mengenai Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007, khususnya pada:
§ BAB IX tentang Pemeriksaan terhadap Perseroan; Pasal 138 s.d. Pasal
141
§
BAB
X tentang Pembubaran, Likuidasi, dan Berakhirnya Status Badan Hukum Perseroan;
Pasal 142 s.d. Pasal 152
§ BAB XI tentang Biaya; Pasal 153
Pasal-pasal
yang terdapat dalam ketiga bab tersebut kemudian kami identifikasi dan kami bandingkan
dengan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995. Pembahasan selanjutnya
adalah sebagai berikut.
BAB
IX
PEMERIKSAAN
TERHADAP PERSEROAN
Pasal 138
Pasal
138 ini menjelaskan tentang pemeriksaan terhadap perseroan yang dilakukan
dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan untuk mengantisipasi
adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan, anggota Direksi
atau Dewan Komisaris yang dapat merugikan pihak perseroan, pemegang saham
ataupun pihak ketiga. Pada pasal ini, ayat (1) dan ayat (2) tidak mengalami
perubahan. Pada ayat (3), terdapat perubahan pada huruf a dan huruf b, sebagai
berikut:
a.
pemegang
saham atas nama diri sendiri atau atas nama perseroan apabila mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah
b.
pihak
lain yang dalam Anggaran Dasar perseroan atau perjanjian dengan perseroan
diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau (Pasal 110 UU No.
1 Tahun 1995)
menjadi:
a.
1
(satu) pemegang saham atau lebih
yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara;
b.
pihak
lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar
Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang untuk mengajukan
permohonan; atau (Pasal 138 UU No. 40 tahun 2007)
Serta terdapat
penambahan, yakni ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), yang berbunyi:
(4) Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diajukan setelah pemohon terlebih
dahulu meminta data atau keterangan kepada Perseroan dalam RUPS dan Perseroan
tidak memberikan data atau keterangan tersebut.
(5) Permohonan
untuk mendapatkan data atau k eterangan tentang Perseroan atau permohonan pemeriksaan untuk mendapatkan
data atau keterangan tersebut harus
didasarkan atas alasan yang wajar dan itikad baik.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3)
huruf a, dan ayat (4) tidak menutup kemungkinan
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal menentukan lain
Penjelasan:
Pada
dasarnya, Pasal 138 UU No. 40 tahun 2004 ini diadakan untuk memberikan
perlindungan, khususnya kepada para pemegang saham minoritas. Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi terjadinya dominasi pengendalian oleh pemegang saham
mayoritas terhadap perseroan. Sehingga melalui pasal inilah dibuka kemungkinan
bagi pemegang saham minoritas untuk dapat memperoleh data atau keterangan
tentang perseroan. Selain itu, yang dapat meminta diadakannya pemeriksaan
terhadap perseroan tidak hanya sebatas pemegang saham, tetapi juga beberapa
pihak yang dapat mengajukan permohonan pemeriksaan tersebut, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 138 ayat (3), seperti kejaksaan dan sebagainya.
Adapun
prosedur pemohonan tersebut adalah dengan mengajukan permohonan tertulis dengan
memuat alasannya ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya mencakup kedudukan
perseroan. Tetapi untuk ini, sebelum mengajukan permohonan pemeriksaan, pemohon
harus meminta terlebih dahulu kepada perseroan (Direksi) mengenai data atau
keterangan yang diperlukan secara langsung. Barulah dapat di ajukan ke
pengadilan manakala ternyata perseroan telah menolak atau tidak memperhatikan
permintaan pemohon. Sebagaiamana disebutkan dalam pasal 138 ayat (5),
permohonana harus didasarkan atas alasan yang wajar dan itikad baik.
Pasal 139
Pada
Pasal 139 ayat (1) tentang Ketua Pengadian Negeri yang berhak menolak atau
mengabulkan permohonan pemeriksaan ini tidak mengalami perubahan. Sedangkan
pada Pasal 139 ayat (2) dan ayat (3) terdapat penambahan redaksi sebagai
berikut:
(2) Ketua
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak permohonan apabila
permohonan tersebut tidak didasarkan atas alasan yang wajar dan/atau tidak
dilakukan dengan itikad baik.
(3) Dalam
hal permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan
pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli untuk melakukan
pemeriksaan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan yang diperlukan.
Selain itu,
pada ayat (4) sampai dengan ayat (7) diubah dari:
(4) Setiap
anggota Direksi, Komisaris, karyawan Perseroan, dan akuntan publik yang
telah ditunjuk oleh perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 1 tidak
dapat diangkat sebagai ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Pemeriksa
berhak memeriksa semua dokumen dan kekayaan yang dianggap perlu untuk
diketahui.
(6) Direksi,
Komisaris, dan semua karyawan perseroan wajib memberi segala keterangan
yang diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan.
(7) Pemeriksa
dilarang mengumumkan hasil pemeriksaan kepada pihak lain. (Pasal 111 UU No.
1 Tahun 1995)
menjadi:
(4) Setiap
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, konsultan, dan akuntan publik
yang telah ditunjuk oleh Perseroan
tidak dapat d iangkat sebagai
ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak memeriksa semua dokumen dan kekayaan
Perseroan yang dianggap perlu oleh ahli tersebut untuk diketahui.
(6) Setiap
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan semua karyawan Perseroan wajib memberikan segala keterangan
yang diperlukan untuk pelaksanaan
pemeriksaan.
(7) Ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
merahasiakan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. (Pasal 139 UU
No. 40 Tahun 2004)
Penjelasan:
Sebagaimana
dijelaskan di atas, menurut Pasal 139 ayat (1) dan (2), Ketua Pengadilan Negeri
dapat menolak ataupun mengabulkan permohonan berdasarkan alasan yang wajar
ataupun itikad baik. Pada ayat (3), penolakan Ketua Pengadilan Negeri dilakukan
melalui penetapan dengan mengangkat paling sedikit 3 orang ahli independen
untuk melakukan pemeriksaan dan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan
yang diperlukan. Yang dimaksud dengan “Ahli” adalah orang yang mempunyai
keahlian dalam bidang yang akan diperiksa. Dan untuk menjaga independensi para
ahli ini, maka tidak dapat ditunjuk sebagai ahli apabila ia menjabat sebagai
anggota direksi atau anggota dewan komisaris dan seterusnya yang tecantum dalam
pasal 139 ayat (4). Ahli yang dimaksud ini berhak memeriksa semua dokumen dan
kekayaan yang dianggap perlu. Yang dimaksud “semua dokumen” adalah semua buku,
catatan, dan surat yang berkaitan dengan kegiatan perseroan.
Pasal 140
Ketentuan
pasal ini mengalami perubahan dari:
(1)
Laporan
hasil pemeriksaan disampaikan oleh pemeriksa kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(2)
Ketua
Pengadilan Negeri memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan hanya
kepada pemohon dan perseroan yang bersangkutan. (Pasal 112 UU No. 1 tahun 1995)
menjadi:
(1) Laporan
hasil pemeriksaan disampaikan oleh ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 kepada ketua pengadilan negeri
dalam jangka waktu sebagaimana
ditentukan dalam penetapan pengadilan untuk pemeriksaan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung
sejak tanggal pengangkatan ahli tersebut.
(2) Ketua
pengadilan negeri memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan kepada pemohon dan Perseroan yang
bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan diterima. (Pasal 140 UU
No. 40 Tahun 2004)
Penjelasan:
Menurut
Pasal 140 ayat (1), apabila ahli telah menyelesaikan pemeriksaan, maka hasil
pemeriksaan tersebut harus disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri, dengan
jangka waktu paling lambat 90 hari untuk perampungan sejak tanggal penetapan. Kemudian
Ketua Pengadilan Negeri akan meneruskan salinan laporan hasil pemeriksaan
tersebut kepada pemohon sebagaimana dalam Pasal 140 ayat (2). Pemeriksaan
terhadap pemeriksaan perseroan ini akan berhenti di sini. Dan untuk selanjutnya
tergantung pada pihak pemohon, apakah ia akan menggunakan hasil pemeriksaan
tersebut sebagai bahan gugatan kepada Direksi maupun korporasi ataukah tidak.
Pasal 141
Pada
dasarnya, Pasal 141 ini membicarakan tentang biaya yang dibebankan dalam
pemeriksaan perseroan. Pasal 141 ayat (1) mengenai penetapan jumlah maksimum
biaya pemeriksaan ini tidak mengalami perubahan. Sedangkan untuk ayat (2) dan
ayat (3) mengalami penambahan, sehingga berbunyi:
(2) Biaya
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar oleh
Perseroan.
(3) Ketua
pengadilan negeri atas permohonan Perseroan dapat membebankan penggantian
seluruh atau sebagian biaya pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pemohon, anggota Direksi, dan/atau anggota Dewan
Komisaris.
Penjelasan:
Menurut
ketentuan pasal ini, Ketua Pengadilan Negeri membebankan biaya pemeriksaan
kepada perseroan, namun atas permohonan perseroan biaya ini dapat dibebankan
kepada pemohon, anggota direksi atau anggota komisaris.
BAB
X
PEMBUBARAN,
LIKUIDASI, DAN BERAKIRNYA STATUS BADAN HUKUM PERSEROAN
Pasal 142
Menurut
ketentuan ayat 1 pembubaran perseroan dapat terjadi karena :
a.
Keputusan
RUPS
b.
Jangka
waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir
c.
Penetapan
pengadilan
d.
Dicabutnya
kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, sedang harta pailit perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailidan
e.
Harta
pailit perseroan yang dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana
diatur dalam Undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang
f.
Dicabutnya
izin usaha perseoan sehingga perseroan wajib melakukan inselvensi
Pada ayat (1) pasal ini, pembubaran
perseroan yang disebabkan oleh huruf a, b, dan c sebelumnya telah tertera pada
Pasal 114 UU No. 1 tahun 1995, sedangkan huruf d, e, dan f merupakan ketentuan
baru dalam pasal ini.
Pasal
142 ayat (2) merupakan ketentuan mengenai tindakan-tindakan “pemberesan” selama
masa tenggang waktu sebelum pembubaran perseroan dengan me-liquit-kan
semua harta kekayaan dan hak-hak perseroan lainnya menjadi uang kontan. Inilah
yang disebut sebagai likuidasi perseroan. Pada masa ini perseroan tidak dapat
melakukan tindakan hukum kecuali untuk keperluan likuidasi. Proses likuidasi
ini dilakukan oleh likuidator, yakni pihak Direksi atau sesuai dengan putusan
RUPS (Pasal 142 ayat (3).
Pasal 143, 144
dan 145
Tiga
pasal ini merupakan ketentuan baru dalam UU No. 40 Tahun 2007. Pasal 143 ini
menjelaskan tentang kedudukan perseroan yang tetap memiliki status badan hukum
hingga selesainya proses likuidasi dan diterimanya pertanggungjawaban likuidator
oleh RUPS atau pengadilan, serta tercantumnya kata “dalam likuidasi”di belakang
nama perseroan sejak pembubarannya.
Pasal
144 menjelaskan tentang perwakilan dari 1/10 bagian dari keseluruhan saham yang
memilii hak suara dapat mengajukan pembubaran perseroan kepada RUPS. Pembubaran
ini dimulai sejak penetapan RUPS.
Sedangkan
Pasal 145 menjelaskan tentang pembubaran perseroan karena berakhirnya jangka
waktu berdiri yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Pasal ini juga menjelaskan
tentang penunjukan likuidator oleh RUPS, serta Direksi yang tidak boleh
melakukan perbuatan hukum baru atas nama perseroan.
Pasal 146
Pasal
146 ini merupakan pembaharuan atas pasal 117 UU 01 Tahun 1995 dalam ayat 1 ini
mengalami perubahan dari ketentuan sebelumnya, sehingga berbunyi:
(1)
Pengadilan
negeri dapat membubarkan Perseroan atas:
a.
permohonan
kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau
Perseroan melakukan perbuatan yang
melanggar peraturan perundang- undangan;
b.
permohonan
pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta
pendirian; (ketentuan ini merupakan Pasal 117 ayat (1) huruf d UU No. 1 Tahun
1995)
c.
permohonan
pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan Perseroan tidak
mungkin untuk dilanjutkan.
Ketentuan pasal
ini pada dasarnya menjelaskan tentang pembubaran perseroan berdasarkan
penetapan pengadilan. Ayat (2) dalam pasal ini juga menjelaskan bahwa meskipun
pembubaran perseroan atas penetapan pengadilan, tetapi tetap dilakukan
penunjukan likuidator.
Pasal 147
Pasal
ini menjelaskan tentang kewajiban likuidator yang harus memberitahukan semua
kreditur mengenai pembubaran perseroan dengan mengumumkannya dalam Surat Kabar
dan Berita Negara Republik Indonesia serta kepada menteri agar dicatat dalam
daftar perseroan yang dilikuidasi. Surat Kabar dan BNRI yang dimaksud harus
memuat:
a.
Pembubaran
perseroan dan dasar hukumnya
b.
Nama
dan alamat likuidator
c.
Tata
caraa pengajuan tagihan
d.
Jangka
waktu pengajuan tagihan
Jangka
waktu yang dimaksud ini adalah 60 hari. Sedangkan pemberitahuan kepada menteri
yang dimaksut diatas harus dilengkapi dengan bukti dasar hukum pembubaran
perseroan dan pemberitahuan kepada kreditur dalam surat kabar.
Pasal 148 ketentuan ayat (1) dan ayat (2) dalam pasal ini merupakan
pembaharuan atas Pasal 118 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 1 Tahun 1995. Pasal ini
menerangkan tentang pembubaran perseroan yang tidak berlaku bagi pihak ketiga
apabila belum dilakukan pemberitahuan kepada kreditur dan menteri. Dan apabila
likuidator lalai terhadap hal ini, maka ia menanggung renteng semua kerugian
perseroan.
Pasal 149
Pasal
149 ini menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban likuidator dalam proses
likuidasi, yang meliputi:
a.
pencatatan
dan pengumpulan kekayaan dan utang perseroan
b.
pengmuman
dalam surat kabar dan BNRI mengenai rencana pemagian kekayaan hasi likuidasi
c.
pembayaran
kepada para kreditur
d.
pembayaran
sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham
e.
tindakan
lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan
Pasal 150
Secara
umum, ketentuan pasal ini menjelaskan tentang tagihan kreditur atas kekayaan
hasil likuidasi. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
· Kreditur yang mengajukan tagihan sesuai dengan jangka waktu diatas
namun di tolak likuidator, dapat mengajukan keberatan ke pengadilan negeri
paling lambat 60 hari dari tanggal penolakan (Pasal 150 ayat (1)). Ketentuan
ini merupakan perubahan atas Pasal 120 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1995.
· Kreditur yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui
pengadilan negeri dengan jangka waktu 2 tahun sejak pembubaran perseroan (Pasal
150 ayat (2)). Ketentuan ini merupakan perubahan atas Pasal 121 ayat (1) UU No.
1 Tahun 1995.
· Tagihan yang diajukan kreditur dapat dilakukan apabila ada sisa
kekayaan hasil likuidasi bagi pemegang saham (Pasal 150 ayat (3)). Ketentuan
ini merupakan perubahan atas Pasal 121 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1995.
· Apabila sisa kekayaan hasil likuidasi telah dibagi namun terdapat
tagihan kreditur, maka sisa kekayaan hasil likuidasi tersebut harus ditarik
kembali (Pasal 105 ayat (4)). Ketentuan ini merupakan perubahan atas Pasal 124
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1995.
· Sesuai dengan ketentuan diatas, pemegang saham yang menerima sisa
kekayaan hasil likuidasi itu harus mengembalikannya sesuia jumlah yang diterima
(Pasal 150 ayat (5))
Pasal 151
Pasal
ini merupakan pengembangan dari pasal 123 UU No. 1 tahun 1995. Dalam pasal ini
dijelaskan apabila likuidator tidak dapat melaksanaan kewajibannya, maka dapat
diangkat likuidator baru dengan memberhentikan likuidator lama. Pemberhentian
likuidator lama ini dilakukan setelah mendengar keterangan dari yang
bersangkutan.
Pasal 152
Pasal
152 ini merupakan pengembangan dari Pasal 124 UU No. 1 tahun 1995, yang mana
hanya terdiri dari 3 ayat. Pada Pasal 152 ini dijelaskan bahwa likuidator
bertanggung jawab kepada RUPS atau pengadilan yang mengangkatnya, sedang
kurator bertanggung jawab kepada hakim pengawas atas likuidasi perseroan. Pasal
ini juga mengatur tentang ketentuan-ketentuan lain tentang pertanggungjawaban
likuidator dan kurator terhadap hasil akhir proses likuidasi kepada semua pihak
yang bersangkutan hingga diumumkan berakhirnya status badan hukum perseroan
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
BAB XI
BIAYA
Bab
XI tentang Biaya ini merupakan ketentuan baru dalam UU No. 40 tahun 2007 bab
ini hanya terdiri dari satu pasal, yakni Pasal 153 yang membahas mengenai biaya
(yang diatur dalam Peraturan Pemerintah) yang digunakan untuk :
a.
Memperoleh
persetujuan pemakaian nama perseroan
b.
Memeperoleh
keputusan pengesahan badan huku perseroan
c.
Memeperolehb
keputusan persetujuan perusahaan anggran dasar
d.
Memperoleh
informasi tentang data perseroan dalam daftar perseroan
e.
Pengumuman
yang diwajibkan dalam undang-undang ini dalan BNRI dan TBNRI
f.
Memeoperoleh
salinan Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan atau
persetujuan perubahan anggran dasar perseroan
Sehingga dapat dikatakan bahwa biaya-biaya yang tidak tercantum
dalam ketentuan di atas, maka tidak dapat dibebankan kepada pihak perseroan
ataupun yang memiliki kewenangan sama dengan perseroan.
DAFTAR
PUSTAKA
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T.
Kansil. 2013. Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Prasetya, Rudhi. 2013. Perseroan
Terbatas: Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
Tentang Perseroan Terbatas.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar